Wednesday, September 24, 2014

Sastra Lekra

Sastra Lekra 

Lekra adalah anonimdari Lembaga Kebudayaan Rakyat, berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950. Meski pada awal berdiri Lekra tidak nyata-nyata mengaku sebagai organisasi kebudayaan dibawah naungan PKI, tetapi dari konsep perjuangan kebudayan mereka nampak jelas bahwa organisasi ini bersifat komunistis. Pada waktu berdirinya tercatat 15 seniman yang berdiri dibelakannya, antara lain: Joebaar Ajoeb, A.S. Dharta, M.S.Ashar, Herman Arjuno, Nyoto dan lain-lain. Organisasi ini bergerak di segala segi kebudayaan dan mencakup seksi-seksi sastra seni rupa, seni suara, seni drama, film, filsafat, dan olahraga.
Dalam kesusastraan organisasi kebudayaan ini mengembangkan sastra Realisme Sosialis, Sastra aliran ini hanya merupakan alat belaka dari partai politiknya, dalam hal kepentingan politik PKI. Terdapat beberapa konsep dasar dalam sastra Lekra ini, antara lain:
1. Seni Untuk Rakyat
2. Politik adalah panglima
3. Meluas dan Meninggi
4. Gerakan Turun Kebawah
5. Organisasi
Pembentukan para sastrawan berdasarkan konsep yang demikian mengakibatkan mereka menjadi amat yakin terhadap kebenaran alirannya.
Meski Lekra didirikan tahun 1950 namun peranannya nbaru penting sekitar tahun 1957. Pada tahun itu mulailah Lekra berhasil menarik kaum sastrawan memasuki organisasinya. Dari beberapa sastrawan yang sudah terkenal dan kemudian terpikat oleh cara-cara Lekra adalah Pramoedya Ananta Toer, Boejoeng Saleh, Utuy Tatang Sontani, Rivai Apin, Sobron Aidit, dan lain lain.

Teror Lekra

Teror Lekra terhadap berbagai sastrawan mapan dilakukan dengan sasaran utama menjatuhkan tokoh H.B. Jassin. Majalah Jassin yang terkenal, yakni Sastra, diserang kaum Lekra antara lain dengan membujuk dan mengancam pada sastrawan pemenang Hadiah Sastra untuk menolak hadiah-hadiah tersebut.
Selain itu Lekra tidak henti-hentinya mempropagandakan konsep-konsep sastra Relaisme Sosialisnya sambil mengecam kaum sastrawan di luar Lekra. Para sastrawan yang berada di luar kelompok kelompok itu masih cukup banyak jumlahnya. Namun akhirnya mereka harus mengelompok juga meski bukan dalam bentuk organisasi formal. Mereka inilah yang kemudian memaklumkan Manifest Kebudayaan

Previous Post
Next Post

0 comments: