Saturday, October 4, 2014

Kajian Stilistika Sastra

Kajian Stilistika Sastra

Pengertian Stilistika


Leech & Short mengungkapkan bahwa stilistika merupakan kajian tentang stile, kajian terhadap wujud performasi kebahasaan khususnya yang terdapat di teks-teks kesastraan. Kini dalam kajian akademik pendekatan stilistika sering dibedakan ke dalam kajian bahasa sastra dan nonsastra (Nurgiyantoro, 2014: 75).
Kajian stilistika dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa figuratif, sarana retorika sampai grafologi. Selain itu, kajian stilistika juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa serta bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus (Nurgiyantoro, 2014: 75-76).

Unsur-unsur/aspek-aspek stile yang dapat dikaji dari sebuah karya sastra antara lain yaitu aspek bunyi, aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek kohesi, pemajasan, penyiasatan struktur, dan citraan. 

A. Leksikal

Unsur leksikal mempunyai pengertian yang sama dengan diksi, yaitu yang mengacu pada penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang untuk mencapai tujuan tertentu (Nurgiyantoro, 2014: 172). Aspek leksikal dalam suatu cerpen dapat berupa bahasa kolokial, penggunaan bahasa lain (bahasa daerah maupun bahasa asing), kata-kata yang menyimpang, dan lain-lain. Kolokial adalah bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, bahasa percakapan, bukan bahasa tulis (Chaer & Agustina, 2010: 67).

B. Gramatikal

Dalam unsur stile, aspek gramatikal yang dimaksud adalah unsur sintaksis yang di dalamnya terdapat frase, klausa, dan kalimat. Aspek gramatikal juga menjadi penentu kelancaran suatu komunikasi bahasa. Jika kosakata yang dipakai sederhana dan didukung oleh struktur sintaksis yang juga sederhana, itu merupakan jaminan bahwa komunikasi bahasa akan lancar (Nurgiyantoro, 2014: 186-187).
Menurut Nurgiyantoro (2014: 191) unsur struktur yang dapat dijadikan fokus kajian adalah kompleksitas kalimat, jenis kalimat, dan jenis frasa dan klausa. Unsur-unsur tersebut dapat diambil sebagian maupun seluruhnya.

C. Kohesi 

Kohesi merupakan hubungan pertautan antarbagian dalam struktur sintaksis atau struktur wacana untuk menyampaikan muatan makna.  Makna inilah yang kemudian dicari dan berusaha dipahami oleh pembaca (Nurgiyantoro, 2014: 195).
Sedangkan koherensi adalah hubungan tertentu yang digunakan untuk mengaitkan antargagasan dalam sebuah ujaran secara eksplisit atau implisit (Yule via Nurgiyantoro, 2014: 196).
Kohesi dibedakan ke dalam macam-macam bentuk. Menurut Brown and Yule kohesi dibedakan ke dalam kategori eksplisit dan implisit beerdasarkan konkret tidaknya kehadirannya. Alwi dkk membedakan kohesi ke dalam hubungan perkaitan eksplisit dan implisit serta kohesi gramatikal dan leksikal. Sedangkan Leech and Short selain mengemukakan kohesi bersifat eksplisit dan implisit juga membedakannya ke dalam dua kategori, yaitu rujuk silang (cross-reference) dan sambungan (linkage) (Nurgiyantoro, 2014: 197).

D. Pemajasan 

Pemajasan (figurative language, figures of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan atau makna yang tersirat. Bentuk-bentuk pemajasan antara lain sebagai berikut.

1. Majas perbandingan 

Majas perbandingan adalah majas yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya. Bentuk perbandingan tersebut dilihat dari sifat kelangsungan pembandingan persamaannya dibedakan dalam bentuk simile, metafora, dan personifikasi.
a. Simile yaitu majas yang mempergunakan kata-kata pembanding langsung atau eksplisit untuk membandingkan sesuatu yang dibandingkan dengan pembandingnya.
b. Metafora adalah bentuk pembandingan antara dua hal yang dapat berwujud benda, fisik, ide, sifat, atau perbuatan dengan benda, fisik, ide, sifat, atau perbuatan lain yang bersifat implisit (Baldic via Nurgiyantoro, 2014: 224)
c. Personifikasi merupakan bentuk pemajasan yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat kemanusiaan.
d. Alegori adalah sebuah sebuah cerita kiasa yang maknanya tersembunyi pada makna literal.

2. Majas pertautan 

Majas pertautan adalah majas yang di dalamnya terdapat unsur pertautan, pertalian, penggantian, atau hubungan yang dekat antara makna yang sebenarnya dimaksudkan dan apa yang secara konkret dikatakan oleh pembicara. Majas pertautan antara lain majas metonimi dan sinedoki.
a. Metonimi merupakan sebuah ungkapan yang menunjukkan adanya pertautan atau pertalian yang dekat antara kata-kata yang disebut dan makna yang sesungguhnya (Nurgiyantoro, 2014: 243).
b. Sinedoki adalah sebuah ungkapan dengan cara menyebut bagian tertentu yang penting dari sesuatu untuk sesuatu itu sendiri (Nurgiyantoro, 2014: 244).

E. Penyiasatan Struktur

Penyiasatan struktur (figuresbof speech) merupakan istilah lain dari sarana retorika, sering dikenal dengan sebutan gaya bahasa. Penyiasatan struktur bermain di ranah struktur, dimaksudkan sebagai struktur yang sengaja disiasati, dimanipulasi, dan didayakan untuk memperoleh efek keindahan. Dalam kaitannya dengan tujuan untuk mencapai efek retoris sebuah pengungkapan, penyiasatan struktur (rhetorical figures) lebih menonjol daripada pemajasan, namun keduanya dapat digabungkan dalam sebuah struktur (Nurgiyantoro, 2014:245-246).

1. Repetisi

Penyiasatan struktur yang banyak ditemukan dala, teks sastra adalah repetisi. Repetisi adalah bentuk pengulangan baik berupa pengulangan bunyi, kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun bentuk lain yang bertujuan memperindah penuturan. Bentuk-bentuk repetisi dapat mencakup berbagai unsur kebahasaan. Misal: bentuk repetisi, paralelisme, anafora, polisindenton, dan asindenton (Nurgiyantoro, 2014:247). Berikut beberapa bentuk stile repetisi :
a. Repetisi
Secara bentuk penyiasatan struktur yang mengandung unsur pengulangan adalah bagian dari repetisi. Gaya repetisi yang mengandung unsur pengulangan, misalnya kata-kata atau frase tertentu, yang dimaksudkan untuk menekankan dan menegaskan pentingnya suatu yang dituturkan. Kata atua kelompok kata yang diulang bisa terdapat dalam satu kalimat atau lebih, berada pada posisi awal, tengah atau di tempat yang lain (Nurgiyantoro, 2014:248).

2. Pengontrasan

Gaya pengontrasan atau pertentangan adalah suatu bentuk gaya yang menuturkan sesuatu secara berkebalikan dengan sesuatu yang disebut secara harfiah. Hal yang dikontraskan dapat berwujud fisik, keadaan, sikap dan sifat, karakter, aktivitas, kata-kata, dan lain-lain tergantung konteks pembicaraan. Berwujud majas hiperbola, litotes, ironi dan sarkasme (Nurgiyantoro, 2014:260).
a. Hiperbola
Gaya ini biasanya dipakai jika seseorang bermaksud melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan keadaan yang sebenarnya dengan maksud untuk menekankan penuturannya. Makna yang ditekankan atau dilebih-lebihkan sering menjadi tidak masuk akal untuk ukuran nalar biasa (Nurgiyantoro, 2014:261).

3. Susunan Lain

Penyiasatan struktur yang terlihat intensif dipergunakan adalah yang berbasis pada pengulangan. Masih ada stile bentuk penyiasatan struktur lain yang dipergunakan dalam teks sastra. Misalnya, gaya pertanyaan retoris, klimaks, antiklimaks, antitesis, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2014:271).
a. Pertanyaan Retoris
Pertanyaan retoris menekankan pengungkapan tentang gagasan atau sesuatu dengan menampilkan semacam pertanyaan yang sebenarnya tidak menghendaki jawaban. Pertanyaan yang dikemukakan telah dilandasi oleh asumsi bahwa hanya terdapat satu jawaban yang mungkin, di samping penutur juga mengasumsikan pembaca telah mengetahui jawabannya. Dimaksudkan untuk membangkitkan efek retoris yang mengena sekaligus untuk melibatkan pembaca atau pendengar baik secara rasional maupun emosional (Nurgiyantoro, 2014:271).

F. Citraan

Citraan merupakan penggunaan kata-kata dan ungkapan yang mampu membangkitkan tanggapan indra. Citra (image) dan citraan (imagery) menunjuk pada adanya reproduksi mental. Citra merupakan gambaran berbagai pengalaman sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Abrams; Kenny dalam Nurgiyantoro (2012:276) citraan merupakan kumpulan citra yang dipergunakan untuk menuliskan objek dan kualitas tanggapan indra yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harafiah maupun kias. Citraan merupakan salah satu unsur stile yang penting karena berfungsi mengkonkretkan dan menghidupkan penuturan (Nurgiyantoro, 2014:275-276).
Citraan terkait dengan panca indra manusia, kelimajenis citraan itu adalah citraan penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerak (kinestetik), rabaan (taktil termal) dan penciuman (olfaktori) (Nurgiyantoro, 2014:277).

a. Citraan visual

Citraan visual adalah citraan yang terkait dengan pengonkretan objek yang dapat dilihat oleh mata, dapat dilihat secara visual. Objek visual adalah objek yang tampak seperti meja, kursi, jendela, pintu, dan lain-lain. Benda-benda yang secara ilmiah kasat mata tersebut dapat dilihat secara mental lewat rongga imajinasi walau secara faktual benda-benda tersebut tidak ada di sekitar pembaca, lengkap dengan spesifikasi rinciannya merupakan objek penglihatan imajinatif yang sengaja dibangkitkan penulis (Nurgiyantoro, 2014:279).

b. Citraan Auditif

Citraan pendengaran (auditif) adalah pengonkretan objek bunyi yang didengar oleh telinga. Pembangkitan bunyi-bunyi alamiah tertentu lewat penataan kata-kata tertentu dapat memberikan efek pengonkretan dan alamiah sehingga penuturan terlihat lebih teliti dan meyakinkan (Nurgiyantoro, 2014:281).

c. Citraan Gerak

Citraan gerak (kinestetik) adalah citraan yang terkait dengan pengonkretan objek gerak yang dapat dilihat oleh mata. Penghadiran berbagai aktivitas baik yang dilakukan oleh manusia maupun oleh makhluk atau hal-hal lain lewat penataan kata-kata tertentu secara tepat dapat mengonkretkan dan menghidupkan penuturan sehingga terlihat lebih teliti dan meyakinkan (Nurgiyantoro, 2014:282).

d. Citraan Rabaan dan Penciuman

Citraan rabaan (taktil termal) dan penciuman (olfaktori) menunjuk pada pelukisan rabaan dan penciuman secara konkret walau hanya terjadi di rongga imajinasi pembaca. Keduanya dimaksudkan untuk mengonkretkan dan menghidupkan sebuah penuturan (Nurgiyantoro, 2014:283).

Previous Post
Next Post

0 comments: