Canting
Pengarang : Arswendo
Atmowiloto
Penerbit :
Gramedia
Tahun : 1968
(Cetakan IV)
Bagi tradisi keraton, tindakan Pak Bei mengawini Tuginem
merupakan sebuah penyimpangan tradisi.
Pak Bei sadar bahwa hal yang dilakukannya tentu akan
mendatangkan masalah di kemudian hari. Meskipun begitu, Pak Bei tetap merasa
bahagia.
Dari perkawinanya dengan Tuginem, Pak Bei dikaruniai banyak
anak. Anak pertama bernama Wahyu Dewabrata; anak kedua, Lintang Dewanti; anak
ketiga, Bayu Dewasunu, kemudian Ismaya Dewakusuma, Wening Dewamurti dan yang
terakhir Subandini Dewaputri Sestrokusuma.
Bagi Bu Bei, Pak Bei adalah sosok pelindung. Dalam
perlindungannya akan mendatangkan kebaikan.
Untuk membantu sang suami, Bu Bei merasa perlu menghidupkan
lagi usaha batik keluarga Sestrokusumo. Sebagai seorang istri yang berasal dari
wong cilik, Bu Bei termasuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Sebagai istri, ia berbakti sepenuhnya untuk kepentingan keluarga, sebagai
pengusaha, ia gesit, tegas, dan berani.
Dengan cara didiknya, Bu Bei berhasil mewujudkan cita-cita
anaknya. Semua anaknya mendapat pendidikan hingga sarjana. Mereka semua juga
telah berkeluarga dan hidup bahagia. Hanya satu yang belum berkeluarga yaitu si
bungsu. Sebenarnya si bungsu telah memiliki calon dan tinggal menetukan hari
perkawinannya. Namun, melihat keadaan Bu Bei yang sudah renta, dan melihat
usaha batik yang makin mundur. Ni si bungsu, memutuskan untuk mengurusi usaha
batik ibunya.
Timbulah perselisihan di dalam keluarga itu. Tak berapa lama
Bu Bei meninggal, namun perselisihan tidak berhenti. Ni dicurigai sebagai anak
hasil hubungan gelap. Di antara anak-anak pun terjadi persaingan yang tidak
sehat. Mereka kurang setuju Ni melanjutkan usaha batik keluarga Sestrokusumo.
Meskipun begitu, Ni tetap teguh hati. Ia merasa yakin mampu
menghidupkan usaha batik canting yang dulu dirilis ibunya. Ia tidak takut
bersaing dengan perusahaan perusahan besar.
Sayang, kenyataan berkata lain. Usaha batik canting tetap
saja tenggelam. Akhirnya Ni sakit dan hampir meninggal. Dalam sakitnya, ia
sadar akan suatu hal. Tentang bagaimana seharusnya ia mengembangkan batik
canting. Bagaimana canting harus melebur dirinya dengan masyarakat.
Ni akhirnya berangsur sembuh. Ia menikah dengan Himawan
tepat setahun meninggalnya Bu bei. Kakak-kakanya sudah tidak lagi bermusuhan.
Mereka membantu mempromosikan batik pada turis hingga anak Ni lahir. Anak itu
diberinama Canting Daryono sebagai rasa sukur sukacita terhadap batik canting.
0 comments: